Bijak Dalam Belajar dan Mempelajari Kehidupan

Ponjong, (kupass.com)–Sebuah kisah yang mungkin sering kita baca telah mengajarkan kita untuk senantiasa bijak dalam mengarungi kehidupan ini. Kisah tersebut menceritakan seorang pemulung di sebuah kota besar dengan berbagai kemudahan yang ada. Suatu pagi yang cerah, pemulung tersebut sedang bergelut berjuang untuk mengais rezeki. Dengan penuh keyakinan melangkah menyusuri bisingnya perkotaan yang menawarkan berbagai kesombongannya.

Diantara bangunan yang menjulang menantang ego setiap manusia untuk kemudian mengalahkannya dan menenggelamkan nurani dan kemanusiaan, pemulung ini melangkah. Dengan keranjang di punggung dan sebuah besi pengait sampah di tangan. Kaki tanpa alas begitu kekar dan mantap menjejak jalanan dan menyusuri gang-gang kumuh di kota besar.

Sampailah pemulung tersebut di pojok sebuah bangunan besar dengan tembok tinggi yang telah memisahkan kehidupan jelata dan “borjuis”. Memang tembok tinggi kadang memisahkan kearifan dan kepedulian, sehingga meruntuhkan kebhinekaan yang kadang diteriakkan dari dalam tembok-tembok tinggi perkotaan tersebut. Sebuah ironi yang selalu tayang di kehidupan kita.

Saat capek menyerang, pemulung tersebut duduk dibawah pohon yang rindang. Boleh jadi pohon rindang tersebut memang diciptakan Alloh SWT untuk menaungi rakyat-rakyat jelata yang tidak mendapatkan naungan dari sesama manusia di dunia ini. Padahal seharusnya manusia dengan perangkat yang sama wajib untuk saling melindungi dan menjaga, memberikan kenyamanan hidup bagi sesama.

Namun agaknya kadang makhluk lain yang telah diciptakan Allah SWT lebih punya perasaan dibanding manusia yang dengan rakusnya bahkan membunuh dan memakan sesama manusia tiap hari. Sebagai mana pemulung tersebut yang bersandar diantara dekapan mesra naungan pohon rindang yang memberi kenyamanaan sesaat, sambil berfikir tentang hidupnya yang susah. Namun sesaat pemulung tadi melihat kemilau benda yang teronggok tidak jauh dari tempatnya duduk.

Dengan binar matanya yang penuh harapan, dia berjalan mendekati barang tersebut. Bukan main bahagianya pemulung tersebut mendapati benda berkilauan yang tergeletak didekat trotoar samping pemberhentian kendaraan.

Bergegas pemulung tadi membawa barang yang didapatkan. Berjalan melewati gang-gang sempit dia bermimpi akan sebuah kehidupan yang lebih baik, meski tidak sebaik di dalam istana-istana mewah di Ibukota yang telah menendang kehidupan rakyat miskin dan merenggut mimpi anak-anaknya.

Memang kadang kehidupan yang susah telah menjadikan seseorang lebih mudah bermimpi bukan hanya di dalam tidurnya, bahkan dalam setiap langkahnya kadang mimpi itu selalu hadir. Mimpi yang sederhana akan hidupnya esok hari, adakah makanan yang bisa digunakan untuk sekedar mengganjal perutnya agar mampu berjalan untuk mengais sampah di jalan? Tak terasa langkah kaki pemulung ini sampai di sebuah tempat diantara tembok pagar dengan sekat kardus dan sisa material bangunan seadanya.

Menunggu esok hari menyapa, pemulung tadi merebahkan tubuhnya dan melanjutkan mimpinya dengan senyum tersungging di bibirnya.
Esok hari pun datang, pemulung tadi pergi ke pasar dan segera menghampiri penjual perhiasan untuk menawarkan barang yang didapatkan kemaren. Berkali-kali menawarkan barang tersebut namun tidak ada satu pedagang perhiasan yang mau menerima, bahkan cemooh dan hinaan didapatkan.

Sampailah di depan pedagang perhiasan yang menyapanya dengan senyum. Pedagang tersebut bertanya,”mengapa murung, dan bapak membawa perhiasan apa”? Maka pemulung tadi menyodorkan benda yang ada di tangannya. Pemulung tersebut mohon untuk dibeli oleh pedagang perhiasan tersebut. Dengan bijak pedagang tersebut berkata, “ bapak, barang ini sangat mahal, hanya orang kaya yang mampu membeli barang ini. Padahal biasanya mereka berbelanja perhiasan ke sini setiap akhir bulan. Bagaimana kalo sekiranya bapak simpan dulu barang ini di sini, dan selama satu bulan bapak bisa membantu saya untuk berjualan di sini, bapak bisa dapat upah dan makan di sini”. Betapa senangnya pemulung tadi, dengan mata berbinar dia menerima tawaran tersebut, dan mulailah dia bekerja di tempat tersebut.

Sebulan telah berlalu, rupanya pemulung tersebut juga mendapat pelajaran baru tentang perhiasan. Barulah ia tahu bahwa barang yang ia bawa ternyata bukan perhiasan sebagaimana ia fikirkan, maka tidak heran jika pedagang yang pernah ia tawari menolak dan bahkan menertawakan. Dia sangat bersyukur karena mendapat pelajaran berharga dari pedagang yang telah mengajarinya dengan bijak.

Sobat, ada banyak hal yang kita dapatkan dari kisah tersebut. Pertama kadang kita tidak bisa membedakan sesuatu yang berharga atau tidak karena ketidak tahuan kita. Namun kita tidak mau belajar. Boleh jadi amal yang kita lakukan dihadapan Allah SWT
tidak bermanfaat sama sekali namunn kita malas untuk mengaji dan belajar pada orang-orang yang lebih faham. Sampai saat kita menghadap Allah SWT maka seluruh amal kita ditolak oleh Allah SWT. Maka sudah saatnya kita belajar lagi kepada orang-orang alim dan shalih yang mengajarkan tentang kehidupan sebagaimana Allah SWT perintahkan kepada kita lewat Rasulullah saw.

Jangan pernah malas untuk mengikuti kajian-kajian ilmu di masjid-masjid, di mushala dan di majelis-majelis taklim. Pelajarilah ilmu dengan gembira dan sambutlah seruan dakwah dengan tawadhuk. Tinggalkanlah hal-hal yang tidak bermanfaat dan mulailah kita isi kehidupan ini untuk hal-hal yang bermanfaat yang bisa kita haturkan kepada Allah SWT kelak di akhirat.

Kedua, berlakulah bijak dalam mengajak orang lain untuk sebuah kebaikan. Jangan pernah putus asa untuk bersama-sama berdakwah dengan penuh hikmah. Sebagaimana Al Quran mengajarkan kita untuk menyeru pada kebajikan dan mencegah kemungkaran dengan cara yang baik.

Dengan hikmah, dan contoh yang baik. Dan sekiranya dibutuhkan maka dengan cara berdialog dengan ilmu. Semoga Allah member hidayah, rahmat dan barokah kepada kita semua.

Penulis : Irwan Triyanto Ketua Majelis Pembinaan Kader PDM Gunungkidul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *