Pemerintah Impor Kedelai Ugal – ugalan, Produsen Tempe Kelimpungan

Wonosari, (kupass.com)–Kebijakan Pemerintah Pusat yang mengimpor kedelai membuat sejumlah Usaha Kecil Menengah (UKM) merasa kelimpungan. Kenaikan harga kedelai impor tersebut dirasakan para produsen tempe, tak terkecuali di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Seperti yang diungkapkan oleh Mustofa, salah satu produsen tempe yang berada di Kalurahan Siraman, Kepanewon Wonosari. Mahalnya bahan baku tempe (kedelai) membuatnya harus menurunkan jumlah produksi mereka.

“Kenaikan harga yang sangat signifikan dirasakan dan tentu memberatkan para produsen,”kata Mustofa saat wartawan menyambangi kediamannya, Rabu (06/01/2021).

Dia mengatakan bahwa, harga bahan baku kedelai sebelum adanya kenaikan harga yakni Rp 6.700. Namun pada awal tahun ini harga bahan baku kedelai mencapai Rp 9.200. Sebagai prosuden tempe yang beroperasi sejak 18 tahun yang lalu, Mustofa mengaku tidak bisa berbuat banyak lantaran kedelai impor tetap dia beli karena menjadi bahan baku utama pembuatan tempe.

“Sudah sejak 2002 memproduksi tempe, dan belum pernah menggunakan kedelai lokal karena hasilnya kurang maksimal, “katanya.

Agar tidak merugi saat harga kedelai impor naik, sejumlah produsen tempe mengurangi jumlah produksi. Semula sekali produksi sebanyak 1,5 kuintal namun saat ini menurun menjadi 1 kuintal saja dalam waktu sehari.

“Takaran juga kami kurangi yang semula dijual ke tengkulak Rp 5.000 mendapatkan 3, saat ini hanya mendapatkan 2 saja. Sementara kualitasnya tetap sama karena kami tidak berani merubah, “imbuhnya.

Walaupun tak bisa berbuat banyak, Mustofa berharap agar Pemerintah dapat memberikan solusi dengan menurunkan harga bahan baku.

Terpisah Kabid Perdagangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Gunungkidul Yuniarti Ekoningsih mengakui bahwa, kenaikan kedelai impor terjadi sejak akhir tahun 2020 yakni bulan Desember 2020. Menurutnya kenaikan bahan baku tempe itu berdampak pada harga tempe dipasaran.

“Sudah naik sejumlah Rp 500. Disperindag tidak bisa berbuat banyak, karena kebijakan impor merupakan tanggung jawab pemerintah pusat,”imbuhnya.

Disperindag menurut Yuni hanya dapat melakukan pemantauan disejumlah produsen dan pasar yang berada di Gunungkidul. Pemantauan tersebut nantinya akan dilaporkan kepada Pemerintah Provinsi.

“Sat ini ketersediaan tahu dan tempe dan makanan yang berbahan baku kedelai di Gunungkidul masih aman, “tandasnya.

Diketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan yang masyaratnya mengkonsumsi kedelai terbesar di dunia setelah negara Tiongkok. Kedelai tersebut sebagian besar digunakan untuk kebutuhan produksi tahu dan tempe. Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai Indonesia sepanjang semester 1 tahun 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS (Rp 7,24 triliun) kurs Rp 14.200. Dari jumlah impor kedelai tersebut sejumlah 1,14 juta ton di antaranya berasal dari negara Amerika Serikat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *